ANANTARA (2)
Onesius Otenieli Daeli, OSC
Saya sudah menuliskan
sesuatu tentang ANANTARA setelah acara Bedah Drama Musikal Anantara. Dalam tulisan itu yang menjadi fokus adalah MUSIK sebagai
bahasa universal yang mampu menggugah dan menggugat kalbu. Namun, setelah
menonton Anantara, saya melihat bahwa
ada suatu persoalan dalam hidup bersama kita, entah dalam keluarga atau pun
komunitas, yaitu tentang RUANG. Menurut saya, hal ini penting untuk
diartikulasikan. Ruang dalam arti ini bermakna luas, tidak hanya garis-garis
atau dinding-dinding yang diatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu
ruang. Ruang dalam konteks ini lebih bersifat imajiner, psikologis, filosofis,
bahkan spiritual. Kita bisa membayangkan dan merasa bahwa saya, Anda, dan orang
lain ada dalam suatu ruang bersama meski kita berada di tempat yang berbeda.
Secara konkret, ada orang yang sangat terganggu ketika ruangannya diabaikan
atau bahkan diambil alih. Orang-orang bisa berkelahi hanya karena memperebutkan
suatu ruangan untuk rapat, belajar, bekerja, dan sebagainya. Dari suasana
konkret ini kita bergeser ke ruang yang lebih dalam dan luas, sifatnya
imajiner, namun sangat memengaruhi hidup, tersembunyi namun nyata. Ruang jenis
ini sangat kuat kesannya dalam drama musikal Anantara.
Dalam Anantara, ada kehendak untuk memiliki ruang bersama di mana masing-masing pribadi dapat menuangkan isi hati, perasaan, dan pendapatnya untuk didengarkan dan diapresiasi oleh orang lain. Namun, yang terjadi justru masing-masing pihak mencoba memperlebar ruang imaginer yang ia miliki supaya ia mampu menyampaikan atau menumpahkan lebih banyak hal sesuai dengan keinginannya, dengan segala macam dalih dan pembenaran diri. Ia merasa bahwa ia yang paling benar dan harus diikuti. Konsekuensinya ruang untuk orang lain semakin sempit bahkan mungkin tidak tersedia. Dampaknya, orang lain tidak bisa masuk.
Repot ketika masalah ruang
ini semakin tidak membuat nyaman. Orang tua merasa bahwa ia bertindak sedemikian
rupa demi masa depan anaknya, sementara anak merasa bahwa ia perlu mandiri,
tidak perlu lagi didikte oleh orang tuanya. Intinya, baik orang tua maupun
anak, masing-masing memperbutkan ruang untuk dimengerti dan dicintai. Itulah
salah satu sumber ketidaknyamanan yang dapat menghasilkan konflik dalam
keluarga dan komunitas, yaitu ketika masing-masing berebut ruang, ruang untuk
dirinya, untuk kepuasannya sendiri, tanpa mempertimbangkan bahwa orang lain pun
membutuhkan ruang yang sama.
Di bagian akhir Anantara, ruang itu mulai terbuka untuk
orang lain sehingga muncul pengertian. Efeknya, ada keberanian untuk berkisah,
ada kehendak untuk bertanya kabar, ada kemauan untuk mendengarkan. Ketika ruang
dibuka, udara segar masuk, senyum dan sapa orang lain mulai terlihat benderang,
sumringah, menyegarkan. Diri sendiri mulai merasa aman dan nyaman, orang lain
pun tidak lagi menjadi ancaman. Ketika seseorang sanggup mengenal ruang
privatnya dan menerima serta mengenal diri apa adanya, sesama dan lingkungan dapat
menjadi anugerah. Lebih dari pada itu, keberanian untuk keluar/melompat dari
ruang privasi diri dan mau masuk ke bilik/ruang diri orang lain merupakan awal
lahirnya pengertian dan penerimaan: muncul kejujuran dan kekaguman.
Menurut saya, Anantara sangat jeli memanfatkan “ruang”
ini sebagai “bahasa” simbol yang sedang diperebutkan. Pesannya, untuk
mendapatkan ruang yang lebih besar, bukalah ruang hati, perasaan, dan pikiran
Anda untuk siapa saja dan bersedia “jalan-jalan” ke ruang hati, pikiran, dan
perasaan orang lain untuk menemukan pengertian, perhatian, dan cinta. Selamat
mencoba.
Bandung, 12 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi nya. Salam sehat selalu! ONIKA.