ANANTARA (1)
Onesius Otenieli Daeli, OSC
Kemauan untuk dimengerti, kehendak untuk ditaati, dan kerinduan untuk dikasihi merupakan impian setiap anggota keluarga, bukan hanya oleh anak-anak melainkan juga oleh ayah dan bunda. Namun, impian ini seringkali tidak hadir dalam kenyataan karena perbedaan pola pikir, gaya belajar, gaya bahasa, dan cara kerja. Orang tua mengeluh: anak-anak susah diatur, keras kepala, mau menang sendiri, dan tidak menghargai orang tua. Anak-anak mengeluh: bapa mama tidak mengerti saya, sukanya memaksa, dan otoriter. Singkatnya, ada kecenderungan untuk saling menghakimi dan merasa benar sendiri. Terjadi generation gap. Ada jarak pemisah antara generasi, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, antara generasi sekarang dan generasi sebelumnya. Perbedaan generasi ini menunjukkan adanya perbedaan cara dan gaya hidup, pola pendidikan, cara pandang, cara berkomunikasi, dan cara menghadapi masalah. Intinya terjadi perbedaan budaya antargenerasi yang membentuk jarak yang makin lama bisa semakin lebar. Barangkali jarak antargenerasi ini sungguh disadari oleh masing-masing pihak, namun seringkali dibiarkan begitu saja sehingga lama-lama menjadi masalah karena tidak tahu harus berbuat apa yang akhirnya mengental menjadi keluhan tanpa muara.
Sekelompok orang muda yang dimotori oleh Dea Joanita Gea berusaha mengubah “jarak” menjadi “jalan”. Mereka tidak berhenti pada masalah, mereka tidak mandeg pada keluh kesah. Mereka mencari jalan keluar dengan mencari akar masalah di tempat terdekat, yaitu dalam keluarga. Mereka ingin mengubah “jarak” yang tadinya jadi masalah menjadi “jalan” untuk memecah kebuntuan, kekakuan, dan ketidakmengertian oleh masing-masing pihak. Mereka ingin mengubah pola hidup “berjarak” dalam aneka tampilan, menjadi “tanpa jarak” karena ada pengertian, ada cinta, ada komunikasi yang sehat, ada kemauan untuk berjuang dan berkembang bersama. Itulah cikal bakal ANANTARA yang menjadi jembatan hati yang tadinya terpisah oleh “jarak”. Anantara artinya titian, yang kemudian dikembangkan menjadi sebutan “tanpa jarak” karena dua kenyataan yang tadinya terpisah, namun kini tersambungkan. Jarak yang tadinya memisahkan, kini menjadi titik temu karena adanya ‘titian’.
Anantara
dikemas dalam bentuk drama musikal. Hal ini merupakan pilihan tepat karena
musik merupakan bahasa universal. Musik bisa diterima dan dimengerti oleh
setiap orang dari segala umur dan dari segala budaya tanpa ada kecurigaan.
Musik dapat menggugah sekaligus menggugat kita para pendengarnya. Melalui Anantara, teman-teman muda memilih seni
khususnya musik sebagai bahasa untuk menyampaikan kegundahan, mengartikulasikan
keluh kesah, menumpahkan perasaan, mengekpresikan pengalaman, dan terutama
menghadirkan realitas yang seringkali terabaikan. Musik mampu mengungkapkan
bahasa jiwa, baik sukacita maupun dukacita. Maka, sekali lagi, drama musikal
menjadi pilihan tepat ketika kata-kata, nasihat, dan ajaran seringkali
disalahartikan bahkan sangat mungkin dicurigai dan direkayasa sesuai dengan
kepentingan tertentu. Musik menjadi alternatif terbaik ketika sapaan dan
teguran biasa tidak lagi mujarab. Dengan demikian, melalui Anantara teman-teman muda mengajak orang muda, orang tua,
keluarga-keluarga, guru/dosen, para murid/mahasiswa, dan siapa saja untuk tidak
berhenti pada masalah, tidak menyerah pada keluh kesah, tidak menutup mata
bahwa ada masalah di antara kita generasi yang berbeda. Musik menjadi sarana
pendekatan; musik menjadi titian untuk mengatasi jarak; musik menjadi bahasa
untuk berkisah.
Musik
merupakan bunyi yang sungguh terorganisir dengan ritme yang teratur, dengan
melodi yang mengalun, dan dengan harmoni yang syahdu. Harmoni dalam musik
terjadi karena kombinasi nada yang berbeda, namun menghasilkan bunyi yang
simultan. Kaitannya dengan Anantara
ialah manusia memang pada kenyataannya berbeda, pikiran dan perasaan berbeda,
budaya dan latar belakang berbeda, generasi pun berbeda, namun tidak berarti
tidak bisa hidup harmonis satu sama lain. Dalam musik ada harmoni meski diisi
oleh nada-nada yang berbeda. Dalam Anantara
ada kisah beda generasi, namun bisa berkolaborasi dengan apik.
Dalam
musik tercermin kreativitas dan keseriusan sehingga dengan memilih musik
sebagai ‘bahasa’ yang dikemas melalui tampilan Anantara, teman-teman muda menampilkan kreativitas dan keseriusan
mereka. Lebih dari pada itu, melalui Anantara
teman-teman muda dan siapa pun yang terlibat di dalamnya, mengusung suatu pesan
yang sangat kuat ialah komunikasi dalam keluarga sangatlah berharga; saling
pengertian antara orang tua dan anak merupakan kerinduan masing-masing pihak,
dan keharmonisan dalam keluarga merupakan kebahagiaan yang tidak perlu dicari.
Musik
mampu menyentuh relung batin, menggugah kedalaman jiwa hingga berurai air mata.
Musik mampu ‘menggebuk’ kebebalan hingga tak mampu berkata-kata, hanya diam
terperangah. Anantara telah memilih
drama musikal sebagai jembatan, untuk menjadi jalan mengatasi jarak, untuk
meruntuhkan tembok pemisah. Untuk itu, marilah kita cari cara yang tepat guna
untuk saling mengatasi jarak hati sehingga berani berkisah secara leluasa, baik
orang tua maupun anak-anak karena ada cinta yang menjadi perekat. Semoga
melalui Anantara yang dikemas dalam
bentuk singing, dancing, dan acting: hati
tersentuh, pikiran tercerahkan, hidup pun beroleh sukacita.
Sukses
untuk pagelaran Anantara!
Bandung,
30 Desember 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi nya. Salam sehat selalu! ONIKA.