Banyak diantara kita yang
tak banyak mengetahui tentang kisah seputar peristiwa Soempah Pemoeda yang
menjadi cikal bakal keberadaan “Indonesia”. Sebab, sesungguhnya term baku
tentang nama “Indonesia” itu tak pernah ada sebelum peristiwa Sumpah Pemuda yang
bersejarah itu. Sebelumnya, nama wilayah dari Pulau Sumatra (Sabang) sampai
Papua (Merauke) masih kerap disebut wilayah “Nusantara” dengan kepelbagaian
suku, bangsa, ras dan lainnya.
Penyebutan ‘Indonesia’
atau ke-Indonesiaan kita sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa
yaitu, Indonesia baru ‘autentik’ setelah Kongres Pemuda II.
Dengan dan melalui
Kongres Pemuda ke-II yang berlangsung selama dua hari (27-28 Oktober 1928) itu,
para pemuda dari berbagai wilayah yang hadir sepakat mendeklarasikan tiga buah
‘sumpah’ dan kemudian menjadi tonggak sejarah ‘penyatuan’ berbagai tanah air,
bangsa dan bahasa Indonesia. Selamat membaca!
Tanggal 28 Oktober 1928
merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, dimana pada waktu itu diadakan
Kongres Pemuda II. Dalam Kongres itulah, para pemuda dari berbagai wilayah
Indonesia mengikrarkan “bertoempah darah jang satoe – tanah Indonesia”, “berbangsa
jang satoe – bangsa Indonesia” dan “mendjoendjoeng bahasa persatoean – bahasa
Indonesia”. Kongres Pemuda II tersebut kemudiaan dikenal sebagai Soepah
Pemoeda.
Dua tahun sebelumnya,
yakni pada 1926 memang telah ada upaya untuk mempersatukan
organisasi-organisasi pemuda ketika diadakan Kongres Pemuda I.
Demikian pula pada
tanggal 20 Februari 1927, telah diadakan pertemuan, namun masih dalam tahap
awal dan belum final. Dan akhirnya, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
(PPPI) menjadi penggagas Kongres Pemuda II.
Selanjutnya, pada tanggal
3 Mei 1928 diadakan kembali pertemuan untuk persiapan Kongres Pemuda II, dan
kemudian dilanjutkan pada tanggal 12 Agustus 1928.
Dalam pertemuan tanggal
12 Agustus 1928 itu, perwakilan dari semua organisasi pemuda hadir dan diambil
keputusan bersama untuk segera mengadakan Kongres II yang dijadwalkan
berlangsung selama dua hari yaitu pada 27 -28 Oktober 1928.
Adapun susuna panitia
pelaksana Kongres II adalah seperti berikut: Ketua: Soegondo Djojopoespito
(PPI). Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java). Sekretaris: Mohammad Jamin
(Jong Sumateranen Bond). Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond). Pembantu
I: Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond). Pembantu II: R. Katja Soengkana
(Pemoeda Indonesia). Pembantu III: Senduk (Jong Celebes). Pembantu IV: Johanes
Leimena (Jong Ambon). Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi).
Dalam pelaksanaan Kongres
II itu, dilakukan dalam tiga kali (3) rapat dengan tempat yang berbeda-beda
yaitu:
Pertama, rapat Kongres
yang diadakan pada hari Sabtu, 27 Oktober 1928 (hari pertama) yang berlangsung
di kompleks dekat gedung Gereja Katedral yang saat itu sering disebut gedung
Katholieke Jongenlingen Bond (KJB)-Waterlooplein (sekarang: Lapangan Banteng).
Isi dari pertemuan
tersebut adalah bahwa Kongres yang diadakan dapat memperkuat persatuan para
pemuda. Dalam pertemuan itu, Muhammad Yamin menguraikan tentang arti dan
hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa
memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan,
dan kemauan.
Kedua, rapat Kongres yang
diadakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928 (hari kedua) yang belangsung di
Gedung Oost-Java Bioscoop. (sekarang: gedung tersebut sudah tidak ada lagi,
namun posisi gedungnya diperkirakan terletak di Jl. Merdeka Utara, tidak jauh
dari sitana Negara dan Mahkamah Agung RI). Dalam rapat tersebut, dibahas
tentang masalah pendidikan.
Pada kesempatan itu ada
dua orang yang bertindak sebagai pembicara yakni, Poernomowoelan dan Sarmidi
Mangoensarkoro. Mereka berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan
kebangsaan, perlu adanya keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di
rumah, dan anak harus dididik secara demokratis.
Ketiga, rapat penutupan
Kongres diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw atau Indonesisch Huis Kramat
di Jalan Kramat Raya Nomor 106 (sekarang: menjadi Museum Sumpah Pemuda).
Pada rapat tersebut,
Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi, selain gerakan
kepanduan. Sementara itu, Ramelan mengemukakan bahwa gerakan kepanduan tidak
bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik
anak-anak disiplin dan mandiri, sebab hal itulah yang dibutuhkan dalam
perjuangan.
Adapun para peserta yang
hadir dalam Kongres II tersebut, berasal dari berbagai perwakilan organisasi
pemuda, yakni: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen
Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, Aitai
Karubaba dan Poreu Ohee (Perwakilan dari Papua), Kwee Thiam Hiong (Jong
Sumatranen Bond), dll.
Wage Rudolf Soepratman
memperdengarkan lagu ‘Indonesia Raya’ hasil karyanya sebelum Kongres ditutup.
Pada kesempatan tersebut WR. Soepratman hanya memainkan biola saja tanpa syair
(musik instrument). Hal ini dilakukan atas saran ketua panitia Kongres. Tidak
dinyanyikannya syair lagu Indonesia Raya tersebut, dengan pertimbangan karena
intel-intel peerintahah Belanda selalu mengawasi jalannya Kongres.
Lagu yang dibawakan oleh
WR Soepratman tersebut, disambut dengan meriah oleh peserta Kongres. Setelah
Kongres itu, hasil rumusan penting (sari pati) dari Kongres II, diumumkan dan
para pemuda yang hadir mengucapkan rumusan tersebut sebagai ‘Sumpah Setia’.
Gedung di Jalan Kramat
Raya Nomor 106, tempat dibacakan Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan
untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.
Pada tanggal 3 April 1973
Gedung di Kramat 106 itu, sempat dipugar oleh Pemda DKI Jakarta. Ali Sadikin,
Gubernur DKI Jakarta masa itu, meresmikannya sebagai Gedung Sumpah Pemuda pada
tanggal 20 Mei 1973. Dan pada tanggal 20 Mei 1974, Presiden Soeharto meresmikan
kembali gedung tersebut.
Berikut ini ada beberapa
tokoh yang berperan penting dan menonjol dalam Kongres Pemuda II, antara lain
sbb:
1. Soegondo
Djojopoespito. Sugondo Djojopuspito lahir di Tuban-Jawa Timur, 22 Februari
1905. Pada tahun 1925, Soegondo Djojopoepito lulus dari AMS. Ketika masih duduk
di pendidikan menengah MULO, ia pernah satu atap dengan Ir. Soekarno di pondok
milik HOS Cokroaminoto. Soegondo terpilih menjadi Ketua atas persetujuan Drs.
Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir. Soekarno di Bandung.
Selain Soegondo, kandikat lainnya adalah pemuda bernama Mohammad Yamin.
Figur Sugondo ini memang
namanya sangat asing dan hampir tidak pernah diceritakan dalam tulisan-tulisan
sejarah, bahkan di buku pelajaran sekolah. Padahal Soegondo Djojopoespito
mempunyai peran besar dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II.
Pada tahun 1926, ia ikut
serta dalam kegiatan Kongres Pemuda I dan menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda
II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Kemudian ia melanjutkan kuliah di
Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia).
Ketika pada masa kuliah,
Soegondo menumpang di rumah seorang pegawai pos di gang Rijksman, sehingga
lingkaran pertemanan Soegondo, ada dalam lingkungan para pegawai pos. Melalui
pertemanan tersebut ia mengenal Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi yang
dinyatakan ‘dilarang’ oleh pemerintah Belanda.
Organisasi pemuda
Indonesia itu berpusat di negeri Belanda. Ia mengenal organisasi tersebut
melalui majalah “Indonesia Merdeka” yang diterbitkan oleh Perhimpunan
Indonesia, yang diberikan kepada salah seorang pegawai pos. Setelah membaca
majalah tersebut, pikiran Soegondo semakin terbuka. Ia menyadari betapa
pentingnya meraih sebuah kemerdekaan.
Sebagai tindakan awal, ia
belajar dan berdiskusi mengenai politik dengan Hj. Agus Salim. Ia menghubungi
teman-temannya untuk datang dan membaca ‘majalah terlarang’ tersebut dan
berdiskusi di pemondokannya. Ada beberapa temannya yakni, Soewirjo dan Usman Sastroamidjojo,
adik Ali Sastroamidjojo.
Soegondo, memiliki rasa
nasionalisme yang besar sehingga ia bergabung dengan Persatuan Pemuda Indonesia
(PPI), meskipun banyak pemuda lainnya lebih berminat bergabung di dalam
organisasi kedaerahan. Ia masuk organisasi Persatuan Pemuda Indonesia dan tidak
masuk dalam Jong Java.
Pada tahun 1926, Soegondo
membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), terinspirasi oleh
Perhimpunan Indonesia di Belanda. Pada waktu itu, Sigit terpilih sebagai
ketuanya. Tujuan organisasi tersebut adalah untuk menghubungi
mahasiswa-mahasiswa baru dan pemimpin perkumpulan pemuda dalam rangka
menularkan semangat persatuan.
Mereka membuat pamflet
rahasia untuk menggulingkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Setelah setahun
berselang, masa jabatan Sigit berakhir dan digantikan oleh Soegondo. Sebagai
ketua baru, ia mengundang wakil-wakil perkumpulan pemuda, lalu membentuk panitia
kongres pada bulan Juni 1928.
Sugondo Djojopuspito
meninggal dunia di Yogyakarta tanggal, 23 April 1978 pada usia 73 tahun. Atas
jasanya dalam menginisiasi Kongres Pemuda, maka Pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1978 memberikan Tanda Kehormatan kepada Soegondo, berupa Bintang Jasa
Utama.
Pada tahun 1992, ia
mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan. Kemenpora, mengabadikan namanya
pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djojopoespito di Cibubur,
milik Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional (PP-PON) yang diresmikan pada
tanggal 18 Juli 2012.
2. Prof. Mr. Mohammad
Yamin, SH. Mohammad Yamin, lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24
Agustus 1903. Ia pertama kali muncul pada tahun 1922 sebagai penyair, dengan
judul puisinya “Tanah Air”. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
Minangkabau di Sumatera.
Puisi tersebut adalah
puisi modern Melayu yang pertama, yang pernah diterbitkan. Puisi keduanya
berjudul “Tumpah Darahku”, yang muncul pada 28 Oktober 1928. Ketika Konggres
Pemuda II 1928 diadakan, Mohammad Yamin merupakan salah satu kandidat Ketua
Panitia Kongres II, namun yang terpilih adalah Soegondo Djojopoespito.
Saat itu, Kongres Pemuda
membutuhkan figur ketua yang ‘netral’. Karena Mohammad Yamin masuk dalam Jong
Sumatranen Bond. Maka, Soegondo dipilih sebagai Ketua dan Mohammad Yamin
diangkat menjadi Sekretaris.
Pada kesempatan itu,
notulen ditulis dalam bahasa Belanda. Pada sesi terakhir Kongres Pemuda II,
Soenario, perwakilan dari kepanduan (sekarang Pramuka) berpidato. Pada waktu
itu, M. Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada
Soegondo seraya berbisik, “Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie”
(saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes), ujar Yamin.
Di dalam secarik kertas
itu, tertulis tiga frasa yang kemudian dikenal sebagai trilogi Sumpah Pemuda,
yaitu: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”. Selanjutnya, Soegondo memberi
paraf pada secarik kertas itu yang artinya menyatakan setuju, dan diikuti oleh
anggota lainnya yang juga menyatakan tanda setuju. Akhirnya, ikrar Sumpah
Pemuda dibacakan oleh Soegondo dan diikuti oleh semua peserta Kongres.
Mohammad Yamin, meninggal
dunia di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1962 dalam usia 59 tahun.
3. Wage Rudolf
Soepratman. Wage Rudolf Supratman, lahir di Somongari-Purworejo, 9 Maret 1903.
Ia salah seorang pahlawan yang beragama Kristen Katolik. Dalam Kongres Pemuda
II, pemuda yang akrab sisapa WR. Soepratman menghampiri Ketua panitia Kongres
dengan membisikkan sesuatu. Ia meminta izin pada Ketua Panitia Kongres agar
diperbolehkan memperdengarkan lagu ciptaannya, yang berjudul “Indonesia Raya”.
Karena Kongres dijaga
oleh Polisi Hindia Belanda, maka Soegondo sebagai Ketua Panitia Kongres tidak
menginginkan Kongres itu dibubarkan atau peserta ditangkap oleh Polisi Belanda.
Maka, Soegondo berbisik kepada WR. Supratman agar memperdengarkan lagu Indonesia
Raya itu cukup dengan instrument biolanya saja.
4.  Soenario Sastrowardoyo. Prof. Mr.Soenario
Sastrowardojo lahir di Madiun-Jawa Timur, pada 28 Agustus 1902. Ia adalah salah
satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia pernah
menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Soenario adalah salah
satu tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah
nasional, yaitu Manifesto 1925 dan Kongres Pemuda II. Ketika Manifesto 1925
dicetuskan, ia menjadi pengurus Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging, kelak
berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia)
bersama Drs. M. Hatta. Soenario menjadi Sekretaris II, dan M. Hatta menjadi
bendahara I. Pada akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de Rechten
(Mr), lalu pulang ke Indonesia.
Ia mempunyai pengalaman
yang cukup banyak di Belanda. Ia aktif sebagai pengacara, sehingga ia membela
para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Selain
itu, ia mempunyai pengalaman berorganisasi, sehingga ia turut membantu sebagai
Penasihat pada Kongres Pemuda II. Selain menjadi penasihat, Soenario juga
menjadi pembicara dalam Kongres. Judul makalahnya adalah “Pergerakan Pemuda dan
Persatuan Indonesia”.
Sumpah Pemuda membawa
dampak bagi perjuangan bangsa Indonesia. Begitu juga bagi kehidupan Soenario.
Soenario yang beragama Islam, jatuh cinta dan akhirnya menikahi gadis Minahasa
beragama Kristen Protestan yang ditemuinya saat pelaksanaan Kongres Pemuda II
(1928). Pada tahun 1956-1961, ia menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris.
Tidak hanya itu, ia pun
diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi
Rektor Universitas Diponegoro-Semarang dari tahun 1963-1966. Pada tahun
1960-1972, ia menjadi Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, yang
merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta, serta UIN Syarif
Hidayatullah-Jakarta. Soenario meninggal dunia pada 18 Mei 1997 pada usia 94
tahun di RS Medistra-Jakarta, sedangkan istrinya meninggal pada 1994.
5.  Sie Kong Liong. Sie Kong Liong adalah salah
satu nama yang mungkin masih asing di telinga public Indonesia. Ia tidak
popular seperti tokoh-tokoh lain, bahkan mungkin tidak pernah tercatat dalam
buku-buku sejarah. Padahal, tanpa andil Sie Kong Liong, sejarah Sumpah Pemuda
mungkin akan memiliki jalan cerita yang berbeda.
Betapa tidak, Sie Kong
Liong adalah pemilik sebuah rumah di Jalan Kramat Raya Nomor 106, yang menjadi
tempat pelaksanaan Kongres II (Sumpah Pemuda). Atas prakarsa Soenario, rumah
milik Sie Kong Liong dipugar oleh Gubernur DKI kala itu, Ali Sadikin, dan ditetapkan
menjadi Gedung Sumpah Pemuda sebelum akhirnya berubah nama menjadi Museum
Sumpah Pemuda.
Pada akhirnya, Kongres
Pemuda II yang diselenggarakan dua hari yaitu, 27-28 Oktober 1928 di Batavia
itu, membuahkan hasil, yang menegaskan cita-cita akan adanya “Tanah Air
Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia”. Saat itu, tiga isi Sumpah
Pemuda yang merupakan Keputusan Kongres tersebut menjadi asas bagi setiap
‘perkumpulan kebangsaan Indonesia’ dan ‘disiarkan dalam segala surat kabar dan
dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan”.
6.  Dr. Johannes Leimena. Johannes Leimena, lahir
di Ambon-Maluku, 6 Maret 1905. Ia adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia
satu-satunya orang yang pernah menjabat sebagai Menteri Kabinet Indonesia
selama 21 tahun berturut-turut tanpa putus. Ia pernah masuk dalam 18 Kabinet
yang berbeda, mulai dari Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II
(1966). Ia mengemban tugas sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri,
Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu, ia menyandang pangkat
Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari Komando
Operasi Tertinggi (KOTI) dalam rangka Trikora.
Pada tahun 1926, Johannes
Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung.
Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda
Kristen. Ia sudah aktif dalam organisasi sejak lulus studi kedokteran STOVIA.
Ia mengikuti organisasi CSV, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tahun 1950. Ia aktif dalam Jong
Ambon, sehingga ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober
1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Dr. Johannes Leimena meninggal dunia di
Jakarta, tanggal 29 Maret 1977 pada usia 72 tahun.
7.   Djoko Marsaid. Djoko Marsaid adalah Wakil
Ketua Panitia Kongres Pemuda II, dimana ia menjadi perwakilan dari Jong Java.
8. Mr. Amir Sjarifoeddin.
Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) lahir di
Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907. Ia seorang penganut agama Kristen
Protestan, meskipun ia berasal dari keluarga Batak yang beragama Islam, namun
kemudian Amir pindah menganut agama Kristen Protestan pada tahun 1931. Ia
pernah memberikan khotbah dalam Gereja Protestan terbesar di Batak yang ada di
Batavia. Khotbah itulah yang menjadi salah satu bukti bahwa Amir sebagai
penganut agama Kristen Protestan pada tahun 1931. Ia meninggal dunia di
Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada usia 41 tahun.
9.  Sarmidi Mangunsarkoro. Mangunsarkoro atau Ki
Sarmidi Mangunsarkoro, lahir pada tanggal 23 Mei 1904. Ia mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1949 hingga tahun 1950. Pribadi Ki Sarmidi
Mangunsarkoro seorang yang sederhana, dan berwawasan luas. Penampilan yang
sangat sederhana, ia terapkan juga pada waktu menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, yaitu tidak mau bertempat tinggal di rumah dinas Menteri Kabinet.
Ia meninggal dunia tanggal 8 Juni 1957 pada usia 53 tahun.
10. Mr. Kasman
Singodimedjo. Kasman Singodimedjo, lahir di Poerworedjo-Jawa Tengah, 25
Februari 1904. Ia pernah menjadi Jaksa Agung Indonesia periode 1945 – 1946. Ia
termasuk mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Pada
tahun 1945-1950, Kasman Singodimedjo pernah mengemban tugas sebagai Ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjadi cikal bakal dari DPR. Ia
meninggal dunia di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada usia 78 tahun.
11. Mohammad Roem.
Mohammad Roem, lahir di Parakan-Temanggung, 16 Mei 1908. Pada masa Ir. Soekarno
menjadi Presiden, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar
Negeri, dan Mendagri. Ia pernah mengambil bagian dalam Perjanjian Roem-Roijen
selama revolusi Indonesia. Ia meninggal dunia di Jakarta, 24 September 1983
pada usia 75 tahun.
12. Dr. AK. Gani. Adnan
Kapau Gani atau biasa disingkat AK. Gani, lahir di Palembayan Agam-Sumatera
Barat pada 16 September 1905. Ia adalah seorang dokter dan politisi Indonesia.
Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Amir Sjarifuddin
I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Ia bergerak dalam organisasi Jong Sumatra
Bond. Ia meninggal di Palembang-Sumatera Selatan pada 23 Desember 1968 pada
usia 63 tahun.
Selanjutnya, perlu pula
kita tahu 75 orang tokoh yang menjadi peserta dan mengikuti Kongres Pemuda II
tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta), yaitu sbb: Abdul Muthalib
Sangadji. Purnama Wulan. Abdul Rachman. Raden Soeharto. Abu Hanifah.
Raden Soekamso. Adnan
Kapau Gani. Ramelan. Amir (Dienaren van Indie). Saerun (Keng Po). Anta Permana.
Sahardjo. Anwari. Sarbini. Arnold Manonutu. Sarmidi Mangunsarkoro. Assaat.
Sartono. Bahder Djohan. S.M. Kartosoewirjo. Dali. Setiawan. Darsa. Sigit (Indonesische
Studieclub). Dien Pantouw. Siti Sundari. Djuanda. Sjahpuddin Latif. Dr. Pijper.
Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken).
Emma Puradiredja. Soejono
Djoenoed Poeponegoro. Halim. R.M. Djoko Marsaid. Hamami. Soekamto. Jo Tumbuhan.
Soekmono. Joesoepadi. Soekowati (Volksraad). Jos Masdani. Soemanang. Kadir.
Soemarto. Karto Menggolo. Soenario (PAPI & INPO). Kasman Singodimedjo.
Soerjadi. Koentjoro Poerbopranoto. Soewadji Prawirohardjo. Martakusuma.
Soewirjo. Masmoen Rasid. Soeworo. Mohammad Ali Hanafiah. Suhara. Mohammad
Nazif. Sujono (Volksraad).
Mohammad Roem. Sulaeman.
Mohammad Tabrani. Suwarni. Mohammad Tamzil. Tjahij. Muhidin (Pasundan). Van der
Plaas (Pemerintah Belanda). Mukarno. Wilopo. Muwardi. Wage Rudolf Soepratman.
Nona Tumbel. Kwee Thiam Hong. Oey Kay Siang. John Lauw Tjoan Hok. Tjio Djien
Kwie.
Itulah sekelumit kisah di
balik peristiwa Sumpah Pemuda. Semoga bermanfaat. Salam Soempah Pemoeda dan
Merdeka!!!
Editor: Detianus Gea
Referensi
[1] Bdk. Buku: Bernadus
Barat Daya dan Silvester Detianus Gea “Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari
Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional hingga Pejabat Negara”, Yakomindo, 2017.
 
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi nya. Salam sehat selalu! ONIKA.